Artikel Almosaly >> Hukum Fiqih

Makna dan Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Makna dan Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
2024/04/18
998

Hidup kita berlalu dengan cepat, orang yang berakal adalah orang yang menjaga waktunya dan tidak menyia-nyiakannya, siapa yang ingin keberkahan dalam hidupnya, dan mendapat keuntungan dalam perdagangannya dengan Allah, maka dia harus banyak memperbanyak amal kebaikan dan ibadah. Oleh karena itu, kita mendapati ada orang-orang yang bersegera berpuasa 6 hari di bulan Syawal setelah hari Idul Fitri, karena ingin mendapatkan pahala dan mencapai makna terindahnya.

Para ulama telah menyebutkan beberapa manfaat dan makna indah puasa 6 hari di bulan Syawal:

Makna Pertama:

Dengan berpuasa maka seorang hamba menyempurnakan pahala puasa setahun penuh, karena suatu amalan dilipatgandakan 10 kali lipat, maka bulan Ramadhan setara dengan 10 bulan, dan 6 hari tersebut setara dengan 2 bulan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» صحيح مسلم (1164)

“Siapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa setahun penuh.”

«جَعَلَ اللهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، الشَّهْرُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الشَّهْرِ، تَمَامُ السَّنَةِ». صحيح الجامع (3094)

“Allah menjadikan (ganjaran) kebaikan itu 10 kali lipat, satu bulan sama dengan 10 bulan; dan puasa 6 hari setelah hari raya ‘Idul Fithri merupakan penyempurna satu tahun.” Sahih Al-Jami' (3094)

Makna Kedua:

Melaksanakan puasa sunnah sebelum dan sesudah puasa wajib (bulan Ramadhan) adalah melengkapi kekurangan yang terjadi pada bulan Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadits Qudsi:

«يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ». سنن أبي داود (864)، حديث صحيح.

“Allah Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat- dan Dia Maha Mengetahui (amalan seseorang): Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau kurang? Sekiranya sempurna maka catatlah baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan, Allah berfirman: Periksalah kembali, apakah hamba-Ku melakukan shalat sunnah? Jika dia mempunyai shalat sunnah, Allah berfirman: “Cukupkanlah kekurangan yang ada pada salat wajib hamba-Ku itu dengan salat sunnahnya,” selanjutnya semua amal manusia dihisab dengan cara demikian. (HR. Abi Dawud: 864), hadis shahih.

Di antara faedahnya juga: Melanjutkan puasa setelah Ramadhan merupakan tanda mendapat taufiq dari Allah, karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan memberinya taufiq dalam mengerjakan amal shaleh setelahnya, sebagaimana sebagian dari mereka mengatakan: pahala atas suatu amal baik adalah perbuatan baik setelahnya.

Makna Ketiga:

Melanjutkan puasa setelah berbuka (Idul Fitri) termasuk bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-Nya menyelesaikan puasa Ramadhan, ampunan dosa, dan terbebas dari Neraka, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang begitu besar tersebut, sebagaimana firman-Nya: 

{وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]

{Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.} [Al-Baqarah: 185]

Di antara rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya yang telah memberinya kesuksesan dalam puasa Ramadhan, membantunya dalam hal itu, dan mengampuni dosanya adalah dia berpuasa setelah itu.

Makna Keempat:

Di antara faedahnya juga adalah tetap beramal shaleh, dan tidak memutuskan amalan yang biasa dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadhan dengan berakhirnya bulan. Tidak ada keraguan lagi bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan secara konsisten, 

Aisyah radhiyallahu 'anha ditanya:

كَيْفَ كَانَ عَمَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ يَخُصُّ شَيْئًا مِنْ الْأَيَّامِ قَالَتْ لَا كَانَ كُلُّ عَمَلِهِ دِيمَةً [رواه البخاري (1987)، ومسلم (783)

"Bagaimanakah amalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam? Apakah beliau pernah mengkhususkan suatu hari tertentu?" Aisyah menjawab; "Tidak, setiap amalan beliau selalu di kerjakan secara rutin. (HR. Al-Bukhari: 1987) dan Muslim: 783) 

Salah satu permasalahan puasa 6 hari bulan Syawal yang sering ditanyakan oleh orang-orang yang harus mengqadha, adalah apakah memulainya dengan mengqadha Ramadhan atau dengan puasa 6 hari bulan Syawal?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian dari mereka berkata: Siapa mengqadha puasa bulan Ramadhan, maka ia harus mengawalinya dengan mengqadha utangnya terlebih dahulu, hingga ia mendapat pahala yang disebutkan dalam hadis, karena Pahala yang disebutkan itu tidak datang hingga setelah selesai beberapa hari Ramadhan, sehingga kedudukannya sama dengan shalat biasa untuk shalat fardhu. Sebagaimana Rasulullah bersabda: 

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» صحيح مسلم (1164)

“Siapa yang berpuasa Ramadhan dan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari Syawal, maka itu seperti puasa sepanjang tahun.” 

Dalam hadits ini Nabi menjadikan bulan syawwal mengikuti bulan Ramadhan dan bulan berikutnya, dan selama ia mengikut pada sesuatu, maka sesuatu itu tidak cukup baginya.

Mendahulukan puasa sunnah 6 hari syawwal dari mengqadha hari-hari yang terlewat di bulan Ramadhan tidak akan mendapatkan pahala seperti yang diatur oleh Nabi atas puasa setelah Ramadhan. Karena Nabi bersabda: 

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»

“Siapa yang berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya 6 hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa setahun penuh,” 

dan siapa yang mempunyai kewajiban qadha, maka ia tidak disebut telah berpuasa Ramadhan; Sebaliknya, wajib berpuasa sebulan penuh, menunaikan dan mengqadhanya, lalu setelah itu berpuasa sunnah 6 hari syawwal.

Adapun mayoritas ulama berpendapat: Dibolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha Ramadhan, baik secara mutlak diperbolehkan atau dengan makruh.

Oleh karena itu, dibolehkan mendahulukan puasa 6 hari di bulan Syawal daripada mengqadha, khususnya bagi seseorang yang kesulitan mengqadha seluruhnya atau sebagian besar di bulan Syawal, namun dia tidak mampu mengqadha hari-hari tersebut dan berpuasa 6 hari bulan Syawal berturut-turut.

Masalah dalam hal ini lapang, Insya Allah.

Siapa yang ingin menyelesaikan qadha terlebih dahulu lalu kemudian berpuasa 6 hari di bulan Syawal, maka diperbolehkan, Insya Allah, dan siapa yang kesulitan mengqadha seluruhnya bulan Syawal, seperti wanita nifas yang tidak berpuasa Ramadhan lalu berpuasa di bulan Syawal, qadha seluruhnya menyulitkan, maka dibolehkan baginya berpuasa 6 hari di bulan Syawal sebelum menyelesaikan qadhanya di bulan Syawal, dan ingin menundanya setelah itu.

Diantara permasalahan yang sering ditanyakan oleh orang-orang yang harus mengqadha Ramadhan adalah: Apa hukumnya menggabungkankan qadha Ramadhan dan puasa 6 hari bulan Syawal?

Persoalan ini di kalangan ulama dikenal dengan persoalan Tasy-rik (menggabungkan 2 ibadah dengan 1 niat).

Hukum menggabungkan 2 ibadah dengan 1 niat:

Hukum Tasy-rik ini adalah jika dibolehkan tumpang tindih dan sah kedua ibadah tersebut, maka Tasy-rik dalam ibadah itu sah, kami berikan contoh agar jelas maknanya: misalnya seseorang mandi junub untuk shalat Jumat dan untuk menghilangkan hadasnya, maka hadasnya hilang dan ia memperoleh pahala mandi pada hari Jumat.

Begitu pula seperti salat sunnah tahiyatul masjid dengan salat fardhu atau sunnah lainnya, seperti seseorang yang masuk ke dalam masjid lalu teringat belum shalat fardhu lalu ia salat sebelum shalat tahiyatul masjid, di sini diperbolehkan menggabungkannya, sebagai salat tahiyatul Masjid itu tidak dimaksudkan dengan sendirinya, melainkan niat untuk menempati tempat itu dengan salat, dia mendapatkannya.

Adapun menggabungkankan kedua ibadah yang diniatkan pada dirinya sendiri, misalnya salat zuhur dan rawatib, atau seperti menunaikan puasa wajib atau qadha, baik itu nazar maupun kafarah, dengan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal, maka menggabungkannya tidak sah. Karena setiap ibadah tersendiri dengan ibadah yang lain dan tujuan tersendiri serta tidak termasuk dalam ibadah yang lain.

Puasa bulan Ramadhan dan qadhanya, dimaksudkan untuk tujuan tersendiri, dan puasa 6 hari di bulan Syawal dimaksudkan untuk tujuan tersendiri, karena bersamaan itu ibarat puasa sepanjang tahun, sebagaimana dalam hadits sahih, jadi tidak sah jika tumpang tindih dan menggabungkannya dalam satu niat.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala untuk terus melakukan perbuatan baik... Senang sekali Kamu memberi komentar tentang ibadah yang terus Kamu lakukan selama Ramadhan, dan Kamu berharap kepada Allah Ta’ala akan melanjutkannya setelah Ramadhan!

Bagikan Artikel ini kepada teman dan orang-orang tersayang, semoga menjadi pahala amal jariyah.

Selengkapnya:

  • الشرقاوي على التحرير للشيخ زكريا الأنصاري (1/ 427).

  • فتاوى نور على الدرب.

  • مجموع الفتاوى لابن عثيمين 20/19

  • الإسلام سؤال وجواب

Artikel terkait

2023/09/07
1.177

Hukum Isti’adzah Ketika Lupa dalam Salat atau Salah Membaca

Tidak diragukan lagi, setan banyak mengganggu kita dalam salat. Kita mungkin lupa jumlah rakaat atau keliru dalam membaca ayat. Apakah benar membaca isti'adzah dalam kasus ini? Klik di sini

ellipse
loading

Dengan aplikasi Al-Mosaly, Ketahui masjid terdekat, di mana pun Anda berada, dengan sangat akurat.

Unduh sekarang

Pemrograman Madar © 2022 Semua hak dilindungi undang-undang bagi pemrograman Madar